ciplok
Bagian 2
KAMU yang menarik minatku untuk menyelam lebih dalam. Kamu buatku membuka diri lebih cepat daripada siapa pun. Aku bukan hujan, yang mengenal musim. Aku Elang, yang bergerak dalam terang-gelap, yang mengepak dalam dingin-panas. Akulah Elang, yang mengangenimu tanpa musim, yang mencandaimu tanpa waktu. Ya kamu, Arca! Senja keemasanku. Angin kesabaranku.
“Kenapa cemburu selalu saja menghampiriku?”
“Pergilah, Elang.”
“Kenapa kamu selalu ingin aku pergi?”
Di luar hujan. Titik-titik airnya mulai membasahi kaca jendela. Arca memejamkan mata. Ia tak mau menjawab pertanyaan.
“Kamu sibuk atau di sana tengah hujan, dan kau dipaku pada rintiknya?”
“Tidak Elang,” jawab Arca cepat. “Tidak ada satu titik gerimis yang memaku aku di sini.”
“Lalu kenapa diam?”
“Aku hanya tengah memberimu ruang.”
“Aku sedang meruang dalam dirimu.”
Arca tersenyum hambar.
“Ah, Arca. Aku nyaris tenggelam dalam keputusasaan. Betapa sulit bersamamu, hanya kamu. Kamu yang selalu bersama lelaki lain, yang membuatku merasa tak berarti. Kecil. Remah. Tak ada daya.”
“Dan, kamu memilih hujan untuk menyikiti aku,” lanjut Elang.
“Elang, aku tidak pernah ingin menyakitimu.”
“Lalu kenapa, Arca?”
“Aku tidak cukup kuat hidup dalam kata-kata cintamu, Elang. Begitu membara. Biarkan aku seperti ini adanya,” jawab Arca, sambil memalingkan wajahnya lagi keluar jendela.
“Kamu harus menghidupi kata-kata itu. Tahukah kamu? Pikiranku selalu bercakap-cakap denganmu. Ruang batinku selalu tersedia untukmu.”
“Aku tidak ingin menyertakan hatiku, Elang.”
“Aku selalu menunggu untuk mengurai hatimu, Arca.”
“Jangan menunggu aku. Kamu hanyalah setangkup kenangan. Kamu seperti gumpalan asap.”
“Kenapa kamu selalu bicara kenangan?” tanya Elang.
“Dan, asap?”
Elang terdiam sejenak. Terasa sesak.
“Sejak awal kamu memang menisbatkan aku sebagai asap. Kenapa kosakata kemayaan ini selalu kamu hidupi?”
“Dan kamu hidupi namaku hanya untuk jadi kenangan,” lanjut Elang.
“Elang…” Arca tak dapat lagi melanjutkan kata-katanya.
“Berilah aku lanskap, Arca. Aku tak ingin jadi asap.”
DI luar masih hujan. Titik-titik airnya bersimpuh di kisi-kisi jendela. Arca hanya bisa memandang dengan tanpa menyentuhnya. Diam-diam ada suara halus menyelinap di hati. Begitu lembut. Begitu merdu. Hujan tengah membisikkan kata-kata rindu, “Jangan katakan padanya jika kita pernah tertawa bersama.”
http://ciplok.blogspot.com/2010/12/jangan-katakan-padanya.html
0 komentar:
Posting Komentar